Jumat, 22 Agustus 2014

mak..

mak...
aku ingin kembali..
saat semuanya berkata dengan sederhana
tersenyum dengan sederhana
menyapa dengan sederhana
memaafkan dengan sederhana

maaf mak...
bukan maksudku ingin melangkahi-Nya
tapi aku bosan mak..
aku bosan dengan penampakan keadilan yang biadab
dengan lukisan yang bersimba darah
dengan pemikiran yang munafik
dengan sekolah yang membodohkan
dengan jabatan yang menindas mak..

aku rindu padamu mak..
aku ingin membelaimu dalam kehenian
bersama malam yang bisu kita bercerita
bercerita tentang hidup yang fana
bercerita tentang keadilan yang rakus
keadilan yang memilih tuannya karena uang
hummm..
aku masih terjaga mak
karena kau..

setetes surat buat mereka disana..!!
salam damai.

Kamis, 21 Agustus 2014

saksi sejarah

sejenak arah naluriku berkiblat pada masa silam,
ketika kita tidak mengenal satu sama lain,
bertatapan dengan wajah yang sayu,
ketika tertipu dengan cerita para tetangga,
saat kita tidak mengenal arti kedewasaan,
saat kita tidak mengenal ini semua seperti sekarang.

kita sering menyapa semesta dengan sapaan keikhlasan,
berjalan perlahan karena takut dengan amarah orang tua,
keluar sembunyi meski lewat jendela,
mengarungi malam dengan dongeng para ksatria,
belajar makna hidup di rumah pak guru,
mengkaji semesta lembar demi lembar.

kita sering berjalan dan berlari,
meski tak tau arah,
tapi kita tetap mengerti kenapa kita berlari,
pantat kita sering tergores oleh sebuah tanggung jawab,
meski terlihat sebagai  murka,
tapi dia benar dan baik.

mulut-mulut kesucian berteriak mengajari,
sampai batuk dan berdahak,
tapi kita enggan mau mengerti,
dan kita slalu bilang itu sebagai murkaan,
bukan sebagai ilmu hidup,
kebijaksanaan yang menjadi saksi,
saat kayu itu menampar kaki itu,
berteriak dan menangis.

ibu didapur berlari,
merangkul dan membelai,
kayu tetap setia di kaki itu,
perlahan ibu mencabut satu demi satu sedih ku,
dan menawarkannya pada ayah,
ayah dengan sedehananya berkata,
"kenapa kamu tidak mengaji.?

kebaikan adalah kebaikan,
dia tidak bisa di ubah,
meski jembatan nya susah di lewati,
tapi maknanya akan menjadi syair dlm perjalanan.
syair itu menjadi teman dalam kehidupan dan kematian.

para peri yang mandi disungai,
menebarkan butiran wewangian sampai di pegunungan,
padipun ikut menguning,
dan kita bergembala sapi lagi,
menunggang kuda sambil menatap purnama,
sarung selepas mengaji masih terikat dengan kuat,
karena kita nanti akan mengaji lagi.

kasihan pak joko,
dia sendirian menjaga sawahnya,
dia ajak anak istri ke sawah,
dia mengajar akan tanggung jawab,
ibu mengajar akan keikhlasan,
padi dan bawang pun tumbuh dengan baik.

kasihan pak lurah,
dia menjaga warganya,
tapi sebenarnya tidak ada yang perlu dijaga,
karena kita saling percaya,
dan saling berbagi pula,
kenapa harus diamankan kalau  tidak ada kejahatan.

kasihan kepada pak guru,
dia harus jalan kaki ke sekolah,
mengajari kehidupan,
di ajari kemanusiaan,
baju kami kotor dan bau asem,
meskipun ingusan,
semangat kami mengalahkan kobaran api.

satu rantang nasi untuk besok,
sayur diladang dan dipasar sama saja,
apapun alasannya perut sudah ada temannya,
meskipun terkadang garam,
tapi nikmat itu ada,
mungkin karena garam malu kalau kita bersedih,
maka dia memantra kita dengan rasa,
rasa akan makna syukur.

Titik Akhir

ketika nada telah sudi untuk beralun,
Senandung makna bersujud pada kekasihnya,
gelombang sinar fajar meluapkan do'anya,
pelita semesta malam meniduri kesunyian,
angkuh tunduk pada pertapaan yang sempurna.

jangan bicara soal siapa yang benar ataupun salah,
bicaralah tentang kemanusiaan,
karena benar dan salah adalah kutukkan,
kutukkan terhadap kewajaran,
Kutukan terhadap kenyataan,
Juga Kutukan terhadap warna kehidupan,
dan akhirnya melahirkan penindasan,
sedangkan bicara kemanusiaan,
Bicara tentang martabat dan kehormatan.

menciumi pundak siang dan malam,
sembari menerawang perbatasan kehidupan dan kematian,
lagu sederhana mulai terlantun,
bersama kata yang terucap,
kebisuan yang menyapa,
negeri para raja yang terlupa,
kecupan-kecupan masa silam yang mesrah.

kenapa mesti meragukan kebenaran,
Kalau kebenaran adalah akar semesta,
meski dipotong dia akan tetap tumbuh dan ada,
dia akan hidup disetiap perut seorang ibu,
diselangkangan zaman,
dipergantian siang dan malam,
dan dia akan tetap benar meski dia tidak benar,

Kamis, 14 Agustus 2014

sebuah makna syurga

ketika nada telah sudi untuk beralun,
gerimis makna bersujud pada Tuannya,
gelombang sinar fajar meluapkan do'anya,
pelita semesta malam meniduri kesunyian,
angkuh tunduk pada pertapaan yang sempurna.

jangan bicara soal siapa yang benar ataupun salah,
bicaralah tentang kemanusiaan,
karena benar dan salah adalah kutukkan,
kutukkan terhadap kewajaran,
juga terhadap kenyataan,
dan akhirnya melahirkan penindasan,
sedangkan kemanusiaan adalah martabat dan kehormatan.

tibalah aku bertanya,
menciumi pundak siang dan malam,
sembari menerawang perbatasan kehidupan dan kematian,
lagu sederhana mulai terlantun,
bersama kata yang terucap,
kebisuan yang menyapa,
negeri para raja yang terlupa,
kecupan-kecupan masa silam yang mesrah.

kenapa mesti meragukan kebenaran,
kebenaran adalah akar semesta,
meski dipotong dia akan tetap tumbuh dan ada,
disetiap perut seorang ibu,
diselangkangan zaman,
dipergantian siang dan malam,
dan dia akan tetap benar meski dia tidak benar,

Rintihan Sederhana

musim telah menjadi saksi
engkau membisu dan tak pernah bercerita
gelisah mulai menyapa
saat lambaian itu berkibar.

akupun menyadari kau telah beranjak,
saat hati tersaksiti engkau pembunuh sukma
luka kau titipkan..
membara bagaikan api
kenap kau beri harapan,
bila tngnmu kau lambaikn

tersesat aku di sini
tak mampu menyapa mentari
kerikil telah berduri
kaki menjerit kesakitan

kau rengguk semua mimpi
saat janji kau kibarkan
kini jiwa telah menangis
kerikil jalanan tempat bersandar

wahai sang pemeluk teguh
dengarkn kami yg bercerita
jangan biarkn mereka menari...
saat jiwa berteriak merdeka....

tatapan makrifat

Ketika aku berhadapan dengan maut,
aku sadar aku hidup dalam permulaan yang abadi,
ketika aku berhadapan dengan kehidupan,
aku sadar aku memeluk keabadian, 

ketika aku berhadapan dengan "Semesta",
aku sadar aku adlah wujud keabadian-Mu,
ketika aku berhadapan dengan mu juwitaku,
aku sadar kau adalah keabadian.

semua menjadi abadi dlam penghambaanku..

pertanyaan wujud

Aku membayangkan seluk beluk syurga yang misteri,
Kematian menatap diatas busur kepalaku,
Membidik jantungku setiap saat aku lengah,
ketakutanku semakin menjadi,
Apakah aku berbuat demi syurga ataupun neraka.

Aku sekedar bertanya,
Tentang jiwa yang terpisah,
Tentang nyawa yang melayang,
Tentang badan yang bergeletak,
Tentang sebuah tanggung jawab,
Tentang kehidupan serta kematian.

Kalajengking yang merayap di dinding,
Nyamuk-nyamuk nakal memperkosa kesunyian,
Memberi nada membisukan keadaan
Aku hanya berbaring dlm lamunan,
Memaknai waktu sebagai semestinya,
Dan memaknai kamu sebagai semestinya.

Negeri Para Raja

Apa yang membuat kita ragu.?
Padi yang tumbuh di belakang rumah,
Otot2 yang mengeras mencangkul tanah,
Memasuki taring samudra dan bumi,
Para orang tua yang berdoa di dlam gua,
Anak2 kecil asyik bermain layang2,
Dikebun itu berseri pohon2 kehidupan.

Apa yang membuat kita ragu.?
Bunga2 mawar mewangi didepan pintu,
Ikan berpesta di dlm kerajaannya,
Gagak terbang membawa ketakutan,
Merpati singgah dlm kecintaan yang sempurna,
Dedaunan beralun dan berirama,
Jagung di atap istana yang terbentang,
Ubi kesederhanaan yg dimasak didapur.

Apa yang membuat kita ragu.?
Seorang ayah mengajari anaknya,
Tetangga meyapamu dengan senyuman,
Air sungai yang mengalir adanya,
Para gembala memandikan kerbau nya,
Siut seruling memecahkan cakrawala,
Kakek megoceh karena ladang nya kemalingan.

Apa yang membuat kita ragu.?
Para jejaka memainkan keseniannya,
Si ayu malu dan memerah mukanya,
Petuah pak lurah yang bijaksana,
Para orang tua mengajari kemanusiaan,
Seorang guru membelai muridnya,
Didepan sekolah mereka menanam ilmu,
Didepan kehidupan mereka berbagi makna.

Apa yang membuat kita ragu.?
Para bidadari mencuci pakaiannya,
Bermain air dan membelai rambut nya yg basah,
Pelangi turun menghiasi desa,
Para kiyai duduk dan bersilat membaca tasbih,
Para santrinya ikut dlam lautan ma'rifat.

Apa yang membuat kita ragu.?
Ibu berdongeng tentang kesatria,
Anak mendengar sambil bertanya,
Rumput dipinggiran sawah yang dimakan sapi,
Emas tumbuh didlam perut ibu,
Pertama dan mutiara dimana2.

Apa yang memubuat kita ragu.?
Nelayan membaca peta sang bintang,
Arah angin membawaku ke hulu,
Ikan teri dijemur diatap rumah,
Kejujuran dipupuk didalam rumah,
Kapak dipundak yang terbentang,
Mengarungi hutan dan berburu dengan srigala,
Pohon2 tinggi meyatu dengan harapan.

Apa yang membuat kita ragu.?
Alam adalah guru kehidupan,
Mengajari bemimpi dan berjuang,
Kayu yang mati utk memasak nasi,
Semut2 bahu membahu utk hidup,
Kumbang mencari mangsa nya,
Bunga mekar dan kehidupan trus berjalan.

Apa yang membuat kita ragu.?
Siang dan malam menjadi teman,
Menjaga dan dijaga adalah satu,
Menjadikan hidup adalah kecintaan,
Kecintaan akan kehidupan dan kematian.

Apa yang membuat kita ragu.?
Seorang tuan mengajari dengan tindakan,
Kata2 menjadi lemah dan tak berguna,
Didepan gerbang terlihat senyum karena bahagia,
Prajurit gagah karena tanggung jawab,
Ibu gagah karena keikhlasan,
Pecinta gagah karena ketulusan.
........Negeri para raja....

Senin, 04 Agustus 2014

keluhku

angin merobek kulitku,
melalui pori2 pesan itu membawa mimpi panjang,
mimpi itu menjelma menjadi ketakutan,
ketakutan yang menertawakan perlawanan,
dan meniadakan kebenaran.


sepasang nyamuk di udara,
bernada dan menyapa dengan malu,
merekapun mengerti,
udara kini berbau kotor dan menyengat,
amarah dan kerakusan menjadi tujuan,
meniadakan manusai yang manusai.


wahai sang guru,
ma'afkan anak didikmu,
aku tidak bisa lagi membaca,
membaca buku-buku kasik tentang kehidupan,
yang kau ajarkan dengan cinta dan harapan.

buku yang kau ajarkan kini menjadi tumpukan dibelakang rumah,
kutu dan tikus berpesta dan bernyanyi,
debu menutupi maknanya,
dan akupun lupa menjadi manusia.

wahai sang ibu,
nasi kau masak didapur dulu,
kini menjadi bahasa yang sukar dalam langkahku,
menjadi alasan untuk meludah,
bahkan menjadi hakim kematian.

kederhanaan yang kau pupuk,
hilang dan berganti kemegahan,
kewajaran bertutur yang kau ajarkan,
kumaknai sebagai penindasan,
dan makna ku hilang bu.

wahai sang ayah,
keberanian yang kau ajarkan,
kini menjelma menjadi ganas dan buas,
memangsa apa saja,
tampa meniduri kebijaksanaan.

dulu kau mengajariku akan makna malu,
malu terhadap sesama manusia,
terhadap alam dan juga kematian,
namun kini,
aku menjadi malu kalau tidak memangsa manusai.

wahai masa silam,
mengajariku tentang kebenaran dan cinta,
berjalan dalam nada yang panjang,
menjadi guru dan kesimpulan hidup,
bertutur adlah air dan api.

akan tetapi,
aku lupa maknanya,
bahkan suara waktunya aku tak ingat,
kadang iya dan kadang tidak,
menjadi beban hidup yang nyata.

aku lupa akan masa dimana aku menjadi manusai,
aku lupa akan wujudku seperti apa,
aku lupa akan alasan duniaku,
aku lupa akan kehinaan yang hina..
entahlah







Minggu, 03 Agustus 2014

KEBENARAN APA YANG KITA TERIAKKAN




wahai para ksatria negeriku,
tengoklah mereka dibalik menara itu,
dibawah kolom bangunan,
dipersimpangan jalan raya,
di emperan selokan zaman,
disudut-sudut gua dalam perkotaan.

Sarjana yang menganggur,
Orang tua berjalan tertatih-tatih,
Seorang ayah keluar dipagi buta,
Ibu memasak batu didapur,
Anak menangis karena kurang gizi,
Nestapa yang menjadi,
Mimpi malam yang terusik

Bangunan megah yang berpenghuni,
Gubuk air mata di lorong kota,
Makanan para raja negeri sebrang,
Karya negeri yang menangis,
Bakti yang terbeli,
Mimpi yang terpangkas,

Keadilan hanyalah mitos dlm penghambaan kami,
Kebenaran hanyalah ilusi para penguasa,
Yang bisa dimainkan tampa nurani,
Jangan bilang dirimu adil kalau hanya melihat berdasarkan warna sosial,
Jangan bilang dirimu adalah kebenaran kalau kamu membunuh kebenaran.

Kami hanyalah rentetan kaum hina,
Melata dimegahnya istana,
Mencari makna akan hidup yang misteri,
Berkata dan teriak karena kami tidak tahu,
Berdiam dan membisu karena kami malu dan ketakutan.

Kebenaran macam apa yang kita tegakkan,
Apakah kebanaran yang memanusiakan,
Ataukah kebenaran penindasan.?
Semua serba mitos dalam pemaknaan kami,
Sujud dan pertapaan itu terhempas begitu saja.

Yang kami tau,
Kebenaran tidak akan pernah mati,
Meski kau bakar dengan kekuasaan,
Tapi dia akan slalu hidup disetiap bait zaman,
Meski kau meludahi dengan kebijakan,
Tapi dia akan slalu tumbuh dipangkuan seorang ibu.

Yang kami tau,
hidup adalah perjungan,
Perjuangan dalam drama pilu negeriku,
Drama yang dibuat bahkan  dipesan oleh cukong berdasi,
Demi apa dan bagaimana,
Kalianpun lebih tau itu,

Yang kami tau,
Ilmu bagaikan cahaya,
Menjadi harapan dalam kegelapan,
Laksana air dalam kehausan,
Memberi dan bermakna adalah keharusan.

Akan tetapi,
Makna cahaya itu samar,
Dan kami di hantui setiap terjaga dan terlelap,
Kami bingung karena kami hina dan tidak tau,
Apakah cahaya itu sebagai alat pembebasan atau penindasan.?

Makna-makna klasik itu akankah slalu terjaga,
Dulu kita takut pada seorang raja dan kaisar,
Tapi sekarang kita hanya tunduk dan takut pada kebenaran dan cinta.
Akan tetapi,
Kebenaran macam apa yang kita teriakkan.?


Sabtu, 02 Agustus 2014

makna waktu

waktu adalah sesuatu yang jelas ada,
berbaring dan terlelap dalam setiap lembaran peradaban,
berjalan dan berhenti adalah sama,
sama-sama sukar untuk mengartikannya,
tapi dia ada dan bahkan bisa membunuh.

waktu terkadang membuat ku menua,
kembali pada masa kanak-kanak ku, 
mengizinkan senyum kembali menyapa,
membiarkan angkara berpesta meriah,
dan akhirnya menguji setiap harapan menjadi nyata.

waktu adalah pelaku hidup,
menyaksikan darah yang bercucuran,
merekam setiap masa silam,
menyaksikan maksud yang tak bertuan,
membumikan teriakan yang menjadi.

waktu adalah teman,
tempat dimana kita berbagi,
mencari dan dicari,
mendiskusikan hal-hal sederhana,
sampai pada masalah yang memecahkan kepala,

waktu adalah guru,
mengajari makna akan hidup,
mengingatkan akan kehidupan dan kematian,
memberi dan diberi,
makna pertemuan dan perpisahan,

waktu adalah cinta,
mengajarkan mencintai dan dicintai,
memberi tampa harapan wujud,
berdamai dengan semesta,
tersenyum kepada hidup,
dan mema'akan sebagai mutiara kehidupan.

waktu adalah kebijaksanaan,
mengajari cara bersyukur,
memaknai mati sebagai awal,
mengajari alasan kenapa menangis,
mengajari kenapa memberi,
sampai pada ajaran tentang kebenaran mutlak.

terkadang waktu begitu sombong,
susah dimaknai,
namun sebenarnya,
waktu adalah kebijaksanaan,

mata rantai di mana semuanya terjadi.

mimpi adalah sebuah harapan,
harapan hanyalah angan2,
dan angan2 akan menjadi nyata apabila waktu merestuinya.

Anak yang Lapar

Anak yang lapar di jalan raya,
dicomberan peradaban,
dibawah gedung mewah,
disetiap persimpangan jalan,
dibawah jembatan,
teruslah bergumam.

anak yang lapar,
mencari akan makna kata kenyang,
bertahan demi satu alasan yang tak pasti,
hidup dan mati adalah sama,
bagaikan kerangka hidup sang sufi.

selimut tergumpal debu,
alas lelap adalah bumi,
kertas-kertas jalanan menjadi penghangat,
emperan tokoh menjadi istana,
memakan dan dimakan semua menjadi rakus.

menangislah ibu,
karena tangisan  adalah keihlasan,
keikhlasan akan suatu pengabdian,
anak2 bangsamu menjadi terlantar dan terdampar,
terkurung didalam rimba penuh tragedi,
memangsa dan dimangsa.
menjadi angan2 para pemimpin.

anak yang lapar,
mintalah pada Tuhan,
agar mereka menjadi bapak dan ibu yang baik,
mendengar air mata itu,
memaknai kalian sebagai layaknya anak.

anak yang lapar,
bersabarlah,
Tuhan tidak pernah tertidur,
dia slalu terjaga dengan keagungannya,
dan kau perlu mengangkat tangan atau berbaring manyapa-Nya.

anak yang lapar,
bertanyalah pada ibumu,
kenapa ayah ngak pernah pulang,
kenapa hidup membingungkan,
kenapa mati sangat dekat,
kenapa raja-raja sangat rakus,

anak yang lapar,
usaplah ingusmu dan mulai melangkah,
angkat celanamu,
berbaringlah dimana saja dalam keadaan tersenyum,
karena senyum adalah senjata,
senjata adalah mimpi yang menakutkan bagi penguasa.

 anak yang lapar,
minta pada langit,
agar hujan di tiadakan,
agar awan dimusnahkan,
dan petir makin menjadi.

anak yang lapar,
bantu ibu mu di dapur,
bantu dia memasak batu,
kelak batu itu akan tumbuh menjadi ksatria yang barani,
ibu menysui mu karena alasan,
dan kamu hidup adalah alasan.

anak yang lapar,
tenanglah,
masa itu akan segera tiba,
saat kau tersenyum dengan sederhana,
menyapa dan di sapa dgn alunan,
berbaris sama karena satu alasan,
dan bermimpi dlm istana.


Wanita Bunting yang Terbuang

Senja dipagi ini terlihat berbeda,
angin berlalu tampa kesan,
membawa aroma bau badanmu yang lelah,
waktu memaknaimu sebagai rahim adam,
mereka memaknaimu sebagi benalu.

pertapaan panjang dalam sejarah nafasmu,
perjalanan yang membuatmu tegar,
pisau belati kehidupan yang mencekam,
cemo'oh berbusa yang slalu bernada,
tak surut langkah itu tetaap mencari,
akan makna yang tersembunyi di perut kehidupan.

wahai wanita bunting yang terbuang,
berdiri tegaklah menghadap cakrawala,
kesepian dan hinaan adalah alasan,
mengemgam matahari menjadi keharusan,
dan semesta ada karena ketidaksatuan.

Wahai wanita bunting yang terbuang,
jangan takut,
semuanya sama,
berawal dari sebuah harapan,
hidup dari keringat sang bumi,
bertahan karena air mata sang langit,
bertapa dalam satu cinta yang agung.

wahai wanita bunting yang terbuang,
tetaplah bertahan,
karena waktu tidak pernah menyembunyikan kebenaran,
meski mereka meludah diatas air matamu,
kamu tetaplah istimewa dimata para penyair,
dimata para politisi,
dan negarawan.

wahai wanita bunting yang terbuang,
cengkrama hidup memang sukar,
ada yg berlalu dan menertawakanmu,
ada yang mengagumimu,
ada pula yang menjualmu di emperan pasar,
tapi kamu harus kuat.

wahai wanita bunting yang terbuang,
kau menangisi semuanya,
dan sesalpun turut menjadi teman,
tapi aku tau,
kau  tegar bagaikan baja,
menyelimuti diri dengan air mata,
bermanis muka di depan sampah kehidupan,
bertutur sahaja di lorong jalan raya,
begitulah kau bertahan hidup.

wahai wanita bunting yang terbuang,
ingatlah,
siang akan berlalu,
malam akan berlalu,
perputaran hidup berjalan semestinya,
tapi satu yang tetap,
mimpi dan harapan.

jika mimpi dan harapan menjadi api,
siap-siaplah merebut cakrawala,
rembulan ditangan kiri,
matahri ditangan kanan,
dan cinta menjadi syair hidupmu.

wahai wanita bunting yang terbuang,
sebarapapun mereka memaknaimu,
kalau mereka tidak bersujud di air matamu,
mereka tidak akan mengerti duka itu,
tidak akan mengerti kewajaran itu,
dan kamu tetap menjadi petaka.

kesucian adalah misteri Tuhan,
mereka menertawakanmu,
sebenarnya mereka menertawakan hidup mereka,
mereka membencimu,
sebenarnya mereka membenci hidup mereka.

wahai wanita bunting yang terbuang,
tetaplah terjaga dan jangan tidur,
karena srigala-srigala kehidupan terus memangsa,
mintalah senjata dari syurga,
ciumilah sudut makna mu,
agar kau tetap menjadi ksatria dalam setiap peradaban.






Jumat, 01 Agustus 2014

Aku dan hitamku

Angin membawa petuah sang malam,
 membujuk sepi yang makin menjadi,
tersirat maupun tersurat bagiku sama saja,
semua serba membingungkan,
karena kegelapan wujudku makin tak bertuan.

kesekian kalinya aku mencoba lagi,
mencari hakikat akan hidup,
bukan suatu kepastian memang,
 ataupun suatu kewibawaan wujud semata,
akan tetapi keharusan sebagai manusia.

malu dan takut merayu sepanjang sadar,
seakan menyatu dengan sel saraf,
menuduhku dan memenjara sukma ku,
gelombang gelap bersemayam lagi.

langkah kini terjelma dlm rupa yang semu,
mulut berbusa memuntahkan percikan darah,
penglihatan hanya bermakna angkara,
meraba dan merasa bukan seperti seharusnya,
aku hilang dan membual.

terlepas dari wujud angkara ku,
aku adalah aku,
menusia dengan banyak kata ma'af,
terkadang terjebak dalam gua,
menelusuri hutan belantara,
menerawang semesta,
karena aku biasa dan terbiasa akan kewajaran itu.

aku memang debu,
maknaku hilang,
terpenjara di singgasana waktu,
tapi aku biasa dan terbiasa akan biasa ku,
aku adalah sejarah,
dan bagian dari martabat manusia.