Senin, 26 Desember 2011

definisi akad nikah


A.     TUJUAN AKAD
Rukun adanya tujuan akad itu merupakan itjihad dari para ahli hukum islam kontemporer. Tujuan akad yakni sesuatu yang tidak bertentangan dengan syarak. Nanti akan terlihat bahwa tujuan akad ini hampir sama dengan tujuan akad dalam pengertia KUH Perdata, yakni adanya kausa halal.
Adapun tujuan akad ialah sebagai berikut :
1.         Tamlik, contohnya jual beli.
2.         Perkongsian atau kerja sama, contohnya syirkah dan musharabah.
3.         Taitsiq, yakni memperkokoh kepercayaan, antara lain gadai (rahn) dan kafalah.
4.       Menyerahkan atau mewakilkan kekuasaan, contohnya wakalah atau wasiat.
5.         Mengadakan pemeliharaan, contohnya wa'diah (titipan).[1]

B.     MACAM-MACAM AKAD
Adapun macam-macam aqad diantaranya adalah sebagai berikut :
1.         Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara:
a.         Aqad musammah, adalah aqad yang telah ditetapkan oleh syara dan diberi hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah dan lain-lain.
b.        Aqad ghaira musammah, adalah aqad yang belum ditetapkan istilah, hukum dan namanya oleh syara.

2.         Dilihat dari segi disyariatkan atau tidaknya:
a.         Aqad musyaraah, adalah aqad yang dibenarkan oleh syara seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.        Aqad mamnuah, adalah aqad yang dilarang oleh syara seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.

3.         Dilihat dari segi sah atau tidaknya aqad:
a.         Aqad shahihah, adalah aqad yang cukup syarat-syaratnya,baik syarat yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus dan juga baik pokoknya maupun cabangnya. Misalnya, menjual sesuatu dengan harga sekian jika kontan dan sekian jika hutang.dan juga seperti menyewakan sesuatu dengan sewaan tertentu untuk masa tertentu pula.
b.        Aqad fasidah, adalah aqad yang cacat atau tidak sempurna,yakni terdapatnya sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum pokok. misalnya menjual sesuatu dengan harga yang ditentukan tapi pembayarannya ditangguhkan.

4.         Dilihat dari segi sifat bendanya:
a.         Aqad ainiyah, adalah aqad lengkap dengan barangnya. Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
b.        Aqad ghaira ainiyah, adalah aqad tanpa disertakan barang.[2]

5.         Dilihat dari bentuk atau cara melakukannya:
a.         Dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
b.        Aqad ridhaiyah, tidak memerlukan upacara, apabila terjadi persetujuan kedua belah pihak telah menghasilkan akad.

6.         Dilihat dari tukar menukar hak:
a.         Aqad mu’awadlah, aqad berlaku atas timbal balik, seperti jual beli,sewa-menyewa,dll.
b.        Aqad tabarrut, berdasarkan pemberian seperti hibah dan I’arah.
c.         Aqad yang mengandung tabarrut pada permulaan tetapi menjadi mu’awadlah pada akhirnya, Seperti qaradl dan kafalah.

7.         Dilihat dari segi tujuan aqad:
a.         Yang tujuannya tamlik, seperti Ba’I mudarabah.
b.        Yang tujuannya mengokohkan saja, seperti rahn dan kafalah.
c.         Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah, washayah.
d.        Yang tujuannya pemeliharaan, yaitu aqdul’ida.

8.         Dilihat dari berlaku tidaknya akad :
a.       Aqad nafizah, terlepas dari suatu penghalang sahnya akad
b.      Aqad mauqufah, akad-akad yang berpautan dengan persetujuan, seperti aqad fudluly.

9.         Dilihat kepada harus dibayar ganti atau tidaknya :
a.       Aqad dlaman / barang : tanggung jawab pihak kedua setelah barang-barang itu diterimanya. Seperti Jual beli, iqalah, qisman, mukhanayah, qaradl.
b.      Aqad Amanah : tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang. Seperti ida’, I’arah, syirkah, wakalah, washayah.
c.       Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, yakni dari satu segi mengharuskan dlaman dan dari segi yang lain merupakan amanah. Seperti ijarah, rahn, shulh’am mal bi manfa’ah.[3]

C.     SAH DAN BATALNYA AKAD
Dipandang dari legalitasnya, akad terbagi menjadi dua:
1.         Akad Legal (Akad yang Sah)
Yakni akad yang secara mendasar dan aplikatif memang disyariatkan. Akad yang memenuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh konsekuensi akad yang sah, seperti jual beli, sewa menyewa dan sejenisnya, apabila seluruh rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya sudah terpenuhi.Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat tersebut masih memerlukan sifat-sifat tambahan sebagai unsur penyempurna.
Rukun pertama, yakni para pihak, dengan dua syaratnya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua, yakni pernyataan kehendak dengan dua syarat yaitusyarat kesatuan majelis akad tidak memerlukan unsur penyempurna,sedangkan syarat kesesuaian ijab dan Kabul, memerlukan syarat penyempurna, yakni bahwa kesesuaian ijab dan Kabul itu dicapaisecara bebas tanpa paksaan. Apabila tercapainya kesepakatan itukarena paksaan, maka akad menjadi fasid. Oleh karena itu bebas dari paksaan adalah syarat keabsahan akad. Rukun ketiga, yakni obyek,dengan tiga syaratnya, memerlukan unsur penyempurna syarat“dapat diserahkan” hal ini memerlukan sifat-sifat yakni bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (darar) dan apabilamenimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Mengenai syarat“obyek harus tertentu” memerlukan sifat-sifat penyempurna, yaitutidak boleh mengandung garar, dan apabila mengandung garar akadnyamenjadi fasid. Dan syarat obyek harus dapat ditransaksikanmemerlukan unsur penyempurna dengan sifat tambahan, yaitu bebasdari fasid dan riba.[4]

2.         Akad Ilegal (Akad yang Batal)
Yakni akad yang dianggap ajaran syariat tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah. Batasannya adalah segala akad yang pada asalnya dan secara aplikatifnya tidak disyariatkan, seperti akad orang gila, anak kecil yang belum baligh, atau akad usaha terhadap barang yang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya. Atau akad yang secara asal disyariatkan, tetapi secara aplikatif tidak disyariatkan, seperti akad dengan orang di bawah paksaan, akad untuk barang yang tidak diketahui dalamakaddengankompensasi.
Kalangan Hanafiyah membedakan antara akad yang secara asal dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut akad batil, dengan perjanjian yang secara asal disyariatkan namun secara aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai akad yang rusak. Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan dengan adanya konsekuensi terhadap akad rusak atau batil alias ilegal. Di antara konsekuensi tersebut menurut kalangan al-Hanafiyah adalah sebagai berikut:
a.         Berpindahnya kepemilikan dalam akad rusak dengan serah terima barang bila direlakan oleh penjual. Si pembeli boleh secara bebas mengoperasikan barang tersebut dengan menghibahkan-nya, menyedekahkannya dan sejenisnya, kecuali menggunakan fasilitasnya. Pemindahan kepemilikan tersebut tentunya dengan kompensasi harta yang sama, bukan dengan pelafalan harga tertentu saja.
b.        Bagi penjual, keuntungan dari perjanjian usaha penjualan rusak tersebut tetap baik adanya, lain halnya dengan pembeli. Alasan pembedaan itu menurut para ulama bahwa uang itu tidak bisa ditentukan dengan pembatasan nilai melalui pelafalan saja, sehingga tidak mungkin dinyatakan jelek, lain halnya dengan barang.
c.         Akad jual beli yang rusak itu masih bisa diperbaiki, kalau kerusakannya dianggap ringan, yakni bila tidak menyentuh inti akad, seperti ketidaktahuan batas waktu pembayaran dalam soal khiyar (waktu tenggang menentukan transaksi), dalam harga dan sejenisnya. Adapun apabila kerusakan itu berat, yakni yang sudah menyentuh inti perjanjian, seperti dalam hal barang yang akan dijadikan obyek perjanjian atau kompensasi dari barang tersebut, karena semua itu tidak bisa menerima perbaikan menurut kesepakatan para ulama.
d.        Adanya khiyar dalam sebuah akad rusak sama halnya dengan adanya pada sebuah akad normal. Baik perjanjian yang menggunakan hak pilih menentukan persyaratan atau hak pilih untuk tidak mengambil barang karena cacat.[5]












BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari aqad pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan syara’, yakni aqad memiliki tujuan yang hamper sama seperti dalam KUHPerdata. Misalnya : Bertujuan untuk Jual beli, kerja sama, gadai, wakalah/wasiat,dan lain-lain.
Mengenai macam-macam aqad yang telah disebutkan diatas yang terbagi menjadi Sembilan golongan, adapun mengenai penggolongan akad yang Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara salah satunya adalah aqad musammah, aqad musammatun ini sebenarnya ada dua puluh lima (25) macam, yakni : Bai’, Ijarah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Bai’ul wafa’, Al’Ida, Al I’arah, Hibah, Aqdul Qismati, Aqad syirkah, Mudlarabah, Muzara’ah, Musaqah, Wakalah, Shulh, Tahkim, Mukharajah/ Takharuj, Qardlu, Aqad Al ‘Umri, Aqdul Muqalah, Aqad Al Iqalah, Aqad Washiyat, Aqdul asha’/ washaya.[6]
Terakhir mengenai sah atau tidaknya dalam aqad atau perjanjian, di bagi menjadi dua yakni Legal dan Ilegal menurut legalitasnya. Akad yang Legal adalah akad yang sah, sehingga berlaku seluruh konsekuensi akad. Sedangkan aqad yang Ilegal yakni akad yang tidak diberlakukan / tidak sah terutama dalam ajaran syari’at, seperti yang dicontohkan diatas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Dimyauddin Djuwaini, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Pasaribu, Chairuman, Lubis, Suhrawadi. K., 1994, Hukum Perjanjian  Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.

Rahmat Syafei, 2006, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung.

TM Hasbi Ash Shiddieqy, 1999, Pengantar Fiqh Muamalah, PT.Pustaka Rizky Putra, Semarang.


[1] Chairuman Pasaribu, Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Hlm. 31.
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, Hlm.  98.
[3] TM Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, Hlm. 111-113.
[5] Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006, Hlm. 75.
[6] TM Hasbi Ash Shiddiqy, op cit, Hlm. 93-108.

Kamis, 15 Desember 2011

Istana Terbuang


disini kami berdiri di tanah yang penuh luka
siapa yang mau tau bahwa kami sedang berduka
di atas hamparan yang penuh lumpur ini kami menangis
adakah kalian mengerti,,,,

raga kami merayap menelusuri kehampaan
memikul lelah yang tak kunjung terobati
mengemis kebebasan yang tak kunjung menghampiri
mengharap belas kasihan dalam kebimbangan

kami hanya ingin engkau tau,,
di balik jeruji istana ini kami berangan
istana yang penuh lumut dan debu
tempat keping keping mimpi berserantakan

di balik istana terbuang ini jiwa mengigil kedinginan
dalam gelap malam ini mimpi terus membebani
perih dan air mata terlarut bersama heningnya kepalsuan
seakan raga kami tak mampu berharap kepastian

di balik istana terbuang ini jutaan tangisan mengaung
berteriak dalam kegelapan berharap kepastian
meski darah bercucuran
dan hanya debu jalanan yang mendengar

kami larut dalam untaianmu
terlelap dalam mimpi yang panjang
akankah semua terus membebani
dan kau hanya bisa berlalu

merdeka,,,merdeka,,,merdeka,,
jiwa kami tetap terpuruk
walau merdeka telah berkumandan
kami berlalu bersama sejarah,,,,