A.
TUJUAN
AKAD
Rukun
adanya tujuan akad itu merupakan itjihad dari para ahli hukum islam
kontemporer. Tujuan akad yakni sesuatu yang tidak bertentangan dengan syarak.
Nanti akan terlihat bahwa tujuan akad ini hampir sama dengan tujuan akad dalam
pengertia KUH Perdata, yakni adanya kausa halal.
Adapun
tujuan akad ialah sebagai berikut :
1.
Tamlik, contohnya jual beli.
2.
Perkongsian atau kerja sama, contohnya
syirkah dan musharabah.
3.
Taitsiq, yakni memperkokoh kepercayaan,
antara lain gadai (rahn) dan kafalah.
4. Menyerahkan
atau mewakilkan kekuasaan, contohnya wakalah
atau wasiat.
5.
Mengadakan pemeliharaan, contohnya wa'diah (titipan).[1]
B.
MACAM-MACAM
AKAD
Adapun macam-macam
aqad diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara:
a.
Aqad musammah, adalah aqad yang telah ditetapkan oleh
syara dan diberi hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah dan
lain-lain.
b.
Aqad ghaira musammah, adalah aqad yang belum
ditetapkan istilah, hukum dan namanya oleh syara.
2.
Dilihat dari segi disyariatkan atau tidaknya:
a.
Aqad musyaraah, adalah aqad yang dibenarkan oleh syara
seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.
Aqad mamnuah, adalah aqad yang dilarang oleh syara
seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.
3.
Dilihat dari segi sah atau tidaknya aqad:
a.
Aqad shahihah, adalah aqad yang cukup
syarat-syaratnya,baik syarat yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus dan
juga baik pokoknya maupun cabangnya. Misalnya, menjual sesuatu dengan harga
sekian jika kontan dan sekian jika hutang.dan juga seperti menyewakan sesuatu
dengan sewaan tertentu untuk masa tertentu pula.
b.
Aqad fasidah, adalah aqad yang cacat atau tidak
sempurna,yakni terdapatnya sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum
pokok. misalnya menjual sesuatu dengan harga yang ditentukan tapi pembayarannya
ditangguhkan.
4.
Dilihat dari segi sifat bendanya:
a.
Aqad ainiyah, adalah aqad lengkap dengan barangnya.
Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan apa yang
diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
b.
Aqad ghaira ainiyah, adalah aqad tanpa disertakan
barang.[2]
5.
Dilihat dari bentuk atau cara melakukannya:
a.
Dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi
seperti pernikahan.
b.
Aqad ridhaiyah, tidak memerlukan upacara, apabila
terjadi persetujuan kedua belah pihak telah menghasilkan akad.
6.
Dilihat dari tukar menukar hak:
a.
Aqad mu’awadlah, aqad berlaku atas timbal balik,
seperti jual beli,sewa-menyewa,dll.
b.
Aqad tabarrut, berdasarkan pemberian seperti hibah dan
I’arah.
c.
Aqad yang mengandung tabarrut pada permulaan tetapi
menjadi mu’awadlah pada akhirnya, Seperti qaradl dan kafalah.
7.
Dilihat dari segi tujuan aqad:
a.
Yang tujuannya tamlik, seperti Ba’I mudarabah.
b.
Yang tujuannya mengokohkan saja, seperti rahn dan
kafalah.
c.
Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah,
washayah.
d.
Yang tujuannya pemeliharaan, yaitu aqdul’ida.
8.
Dilihat dari berlaku tidaknya akad :
a.
Aqad nafizah, terlepas dari suatu penghalang sahnya
akad
b.
Aqad mauqufah, akad-akad yang berpautan dengan persetujuan,
seperti aqad fudluly.
9.
Dilihat kepada harus dibayar ganti atau tidaknya :
a.
Aqad dlaman / barang : tanggung jawab pihak kedua
setelah barang-barang itu diterimanya. Seperti Jual beli, iqalah, qisman,
mukhanayah, qaradl.
b.
Aqad Amanah : tanggung jawab dipikul oleh yang
empunya, bukan oleh yang memegang barang. Seperti ida’, I’arah, syirkah,
wakalah, washayah.
c.
Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, yakni dari
satu segi mengharuskan dlaman dan dari segi yang lain merupakan amanah. Seperti
ijarah, rahn, shulh’am mal bi manfa’ah.[3]
C.
SAH
DAN BATALNYA AKAD
Dipandang
dari legalitasnya, akad terbagi menjadi dua:
1.
Akad
Legal (Akad yang Sah)
Yakni akad yang secara mendasar dan
aplikatif memang disyariatkan. Akad yang memenuhi rukun-rukunnya dan
aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh konsekuensi akad yang
sah, seperti jual beli, sewa menyewa dan sejenisnya, apabila seluruh
rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya sudah terpenuhi.Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat
tersebut masih memerlukan sifat-sifat tambahan sebagai unsur penyempurna.
Rukun pertama,
yakni para pihak, dengan dua syaratnya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak
memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua, yakni pernyataan kehendak dengan dua
syarat yaitusyarat kesatuan majelis akad tidak memerlukan unsur
penyempurna,sedangkan syarat kesesuaian ijab dan Kabul, memerlukan
syarat penyempurna, yakni bahwa kesesuaian ijab dan Kabul itu dicapaisecara
bebas tanpa paksaan. Apabila tercapainya kesepakatan itukarena paksaan, maka
akad menjadi fasid. Oleh karena itu bebas dari paksaan adalah syarat
keabsahan akad. Rukun ketiga, yakni obyek,dengan tiga syaratnya, memerlukan
unsur penyempurna syarat“dapat diserahkan” hal ini memerlukan sifat-sifat yakni
bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (darar) dan
apabilamenimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Mengenai syarat“obyek harus
tertentu” memerlukan sifat-sifat penyempurna, yaitutidak boleh mengandung
garar, dan apabila mengandung garar akadnyamenjadi fasid. Dan syarat obyek
harus dapat ditransaksikanmemerlukan unsur penyempurna dengan sifat tambahan,
yaitu bebasdari fasid dan riba.[4]
2.
Akad
Ilegal (Akad yang Batal)
Yakni akad yang dianggap ajaran syariat
tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah. Batasannya adalah
segala akad yang pada asalnya dan secara aplikatifnya tidak disyariatkan,
seperti akad orang gila, anak kecil yang belum baligh, atau akad usaha terhadap
barang yang haram seperti bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya. Atau akad
yang secara asal disyariatkan, tetapi secara aplikatif tidak disyariatkan,
seperti akad dengan orang di bawah paksaan, akad untuk barang yang tidak
diketahui dalamakaddengankompensasi.
Kalangan Hanafiyah membedakan antara akad yang secara asal dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut akad batil, dengan perjanjian yang secara asal disyariatkan namun secara aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai akad yang rusak. Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan dengan adanya konsekuensi terhadap akad rusak atau batil alias ilegal. Di antara konsekuensi tersebut menurut kalangan al-Hanafiyah adalah sebagai berikut:
Kalangan Hanafiyah membedakan antara akad yang secara asal dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut akad batil, dengan perjanjian yang secara asal disyariatkan namun secara aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai akad yang rusak. Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan dengan adanya konsekuensi terhadap akad rusak atau batil alias ilegal. Di antara konsekuensi tersebut menurut kalangan al-Hanafiyah adalah sebagai berikut:
a.
Berpindahnya kepemilikan dalam akad
rusak dengan serah terima barang bila direlakan oleh penjual. Si pembeli boleh
secara bebas mengoperasikan barang tersebut dengan menghibahkan-nya,
menyedekahkannya dan sejenisnya, kecuali menggunakan fasilitasnya. Pemindahan
kepemilikan tersebut tentunya dengan kompensasi harta yang sama, bukan dengan
pelafalan harga tertentu saja.
b.
Bagi penjual, keuntungan dari perjanjian
usaha penjualan rusak tersebut tetap baik adanya, lain halnya dengan pembeli.
Alasan pembedaan itu menurut para ulama bahwa uang itu tidak bisa ditentukan
dengan pembatasan nilai melalui pelafalan saja, sehingga tidak mungkin
dinyatakan jelek, lain halnya dengan barang.
c.
Akad jual beli yang rusak itu masih bisa
diperbaiki, kalau kerusakannya dianggap ringan, yakni bila tidak menyentuh inti
akad, seperti ketidaktahuan batas waktu pembayaran dalam soal khiyar (waktu
tenggang menentukan transaksi), dalam harga dan sejenisnya. Adapun apabila
kerusakan itu berat, yakni yang sudah menyentuh inti perjanjian, seperti dalam
hal barang yang akan dijadikan obyek perjanjian atau kompensasi dari barang
tersebut, karena semua itu tidak bisa menerima perbaikan menurut kesepakatan
para ulama.
d.
Adanya khiyar dalam sebuah akad rusak
sama halnya dengan adanya pada sebuah akad normal. Baik perjanjian yang menggunakan
hak pilih menentukan persyaratan atau hak pilih untuk tidak mengambil barang
karena cacat.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa tujuan dari aqad pada dasarnya adalah sesuatu yang
tidak bertentangan dengan syara’, yakni aqad memiliki tujuan yang hamper sama
seperti dalam KUHPerdata. Misalnya : Bertujuan untuk Jual beli, kerja sama,
gadai, wakalah/wasiat,dan lain-lain.
Mengenai macam-macam aqad yang
telah disebutkan diatas yang terbagi menjadi Sembilan golongan, adapun mengenai
penggolongan akad yang Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara
salah satunya adalah aqad musammah, aqad musammatun ini sebenarnya ada dua
puluh lima (25) macam, yakni : Bai’, Ijarah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Bai’ul
wafa’, Al’Ida, Al I’arah, Hibah, Aqdul Qismati, Aqad syirkah, Mudlarabah,
Muzara’ah, Musaqah, Wakalah, Shulh, Tahkim, Mukharajah/ Takharuj, Qardlu, Aqad
Al ‘Umri, Aqdul Muqalah, Aqad Al Iqalah, Aqad Washiyat, Aqdul asha’/ washaya.[6]
Terakhir mengenai sah atau tidaknya dalam aqad atau
perjanjian, di bagi menjadi dua yakni Legal dan Ilegal menurut legalitasnya.
Akad yang Legal adalah akad yang sah, sehingga berlaku seluruh konsekuensi
akad. Sedangkan aqad yang Ilegal yakni akad yang tidak diberlakukan / tidak sah
terutama dalam ajaran syari’at, seperti yang dicontohkan diatas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyauddin Djuwaini, 2008,
Pengantar Fiqh Muamalah, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Pasaribu,
Chairuman, Lubis, Suhrawadi. K., 1994, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Rahmat Syafei, 2006, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia, Bandung.
TM Hasbi Ash Shiddieqy, 1999, Pengantar Fiqh Muamalah, PT.Pustaka
Rizky Putra, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar