sejenak arah naluriku berkiblat pada masa silam,
ketika kita tidak mengenal satu sama lain,
bertatapan dengan wajah yang sayu,
ketika tertipu dengan cerita para tetangga,
saat kita tidak mengenal arti kedewasaan,
saat kita tidak mengenal ini semua seperti sekarang.
kita sering menyapa semesta dengan sapaan keikhlasan,
berjalan perlahan karena takut dengan amarah orang tua,
keluar sembunyi meski lewat jendela,
mengarungi malam dengan dongeng para ksatria,
belajar makna hidup di rumah pak guru,
mengkaji semesta lembar demi lembar.
kita sering berjalan dan berlari,
meski tak tau arah,
tapi kita tetap mengerti kenapa kita berlari,
pantat kita sering tergores oleh sebuah tanggung jawab,
meski terlihat sebagai murka,
tapi dia benar dan baik.
mulut-mulut kesucian berteriak mengajari,
sampai batuk dan berdahak,
tapi kita enggan mau mengerti,
dan kita slalu bilang itu sebagai murkaan,
bukan sebagai ilmu hidup,
kebijaksanaan yang menjadi saksi,
saat kayu itu menampar kaki itu,
berteriak dan menangis.
ibu didapur berlari,
merangkul dan membelai,
kayu tetap setia di kaki itu,
perlahan ibu mencabut satu demi satu sedih ku,
dan menawarkannya pada ayah,
ayah dengan sedehananya berkata,
"kenapa kamu tidak mengaji.?
kebaikan adalah kebaikan,
dia tidak bisa di ubah,
meski jembatan nya susah di lewati,
tapi maknanya akan menjadi syair dlm perjalanan.
syair itu menjadi teman dalam kehidupan dan kematian.
para peri yang mandi disungai,
menebarkan butiran wewangian sampai di pegunungan,
padipun ikut menguning,
dan kita bergembala sapi lagi,
menunggang kuda sambil menatap purnama,
sarung selepas mengaji masih terikat dengan kuat,
karena kita nanti akan mengaji lagi.
kasihan pak joko,
dia sendirian menjaga sawahnya,
dia ajak anak istri ke sawah,
dia mengajar akan tanggung jawab,
ibu mengajar akan keikhlasan,
padi dan bawang pun tumbuh dengan baik.
kasihan pak lurah,
dia menjaga warganya,
tapi sebenarnya tidak ada yang perlu dijaga,
karena kita saling percaya,
dan saling berbagi pula,
kenapa harus diamankan kalau tidak ada kejahatan.
kasihan kepada pak guru,
dia harus jalan kaki ke sekolah,
mengajari kehidupan,
di ajari kemanusiaan,
baju kami kotor dan bau asem,
meskipun ingusan,
semangat kami mengalahkan kobaran api.
satu rantang nasi untuk besok,
sayur diladang dan dipasar sama saja,
apapun alasannya perut sudah ada temannya,
meskipun terkadang garam,
tapi nikmat itu ada,
mungkin karena garam malu kalau kita bersedih,
maka dia memantra kita dengan rasa,
rasa akan makna syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar